Selasa, 10 Agustus 2010

Rumahku Istanaku

Sehari sebelum melaksanakan ibadah puasa, tiba-tiba saja saya ingin mencurahkan alam sadar saya.

Terkadang, sebenarnya bukan terkadang, tapi selalu, saya selalu heran ketika suatu rencana yang dibuat manusia bisa hancur begitu saja oleh makhluk bernama ‘takdir’. Saya pernah mendengar sebuah pernyataan dari seorang dosen teman saya, berbunyi ‘semua yang terjadi pada kita 80% adalah akibat perbuatan kita, 18% kondisi, dan 2% sisanya adalah takdir’. Jika dikaji lebih dalam, persentase tadi sebenarnya seimbang karena masing-masing pengaruh materi sesuai dengan kekuatannya. Biasanya kita baru memperhatikan komposisi ini ketika keadaan gak sesuai dengan yang kita inginkan. Dan ‘takdir’, sebagai persentase terkecil selalu menjadi kambing hitam paling empuk, jika kita udah gak bisa lagi menyalahkan kondisi dan perbuatan kita sebagai persentase yang lebih besar.

“Nila setitik, rusak susu sebelanga,” peribahasa yang bisa saya ambil untuk masalah ini. Keburukan selalu lebih kuat dari kebaikan. Namun kebaikan selalu jadi pemenangnya, bukan?

Takdir, dengan persentase yang begitu rendah, bisa menjadi faktor kuat pengubah kejadian. Kita pasti menyadari itu ketika keadaan tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Bagaimana mungkin hanya dengan sedikit sentuhan takdir, rencana yang hampir sempurna sekali pun bisa porak-poranda? Itulah kenapa saya bilang takdir itu kuat. Dengan pengaruhnya yang begitu besar, lalu, apakah kita bisa bilang takdir jahat? Jika tidak, mengapa pengaruhnya begitu besar seperti nila pada susu? Jika ya, bukankah seharusnya kebaikan yang jadi pemenangnya? Istilah ‘takdir’ diciptakan hanya agar manusia bisa menerima apa yang gak bisa dikehendakinya. Tepatnya, agar manusia punya sesuatu untuk disalahkan pada akhirnya jika kehendaknya tidak terlaksana.

Takdir, juga yang mempertemukan kita, menghubungkan getaran-getaran yang pada awalnya tidak bisa dideskripsikan, getaran yang seolah berkata ‘aku butuh kamu’. Hingga kita merumuskan rasa itu menjadi sebuah kebutuhan. Rasa butuh yang biasa orang sebut ‘sayang’. Pernah kita mengklaim diri kita tidak akan berarti tanpa orang yang memenuhi kebutuhan kita. Namun pada akhirnya, kita membutuhkan orang yang paling membutuhkan kita.

Sepasang kekasih tidak mungkin lagi bisa bersama jika di antara mereka udah tidak lagi saling membutuhkan. Memang terkesan “memanfaatkan”, tapi itu memang sifat dasar manusia, ingin kebutuhannya dipenuhi, yang ujung-ujungnya agar merasa bahagia.

Seseorang yang membutuhkan kita bukanlah orang yang memanfaatkan kita, karena memanfaatkan berarti mengambil keuntungan dari seseorang yang sebenarnya tidak terlalu kita butuhkan. Ketika menemui seseorang yang membutuhkan kita, secara langsung atau tidak langsung, kita akan membutuhkan mereka juga. Karena tidak ada artinya kelebihan kalau tidak ada tempat untuk menuangkannya.

Menemukan seseorang yang kita butuhkan itu seperti menemukan rumah yang selama ini kita cari saat kita tersesat. Karena rumah adalah tempat yang paling kita butuhkan. Kita selalu merasa aman, nyaman, tenang ketika berada di rumah. ‘Rumahku istanaku’ terbukti bukan ungkapan omong kosong.

Pada akhirnya, kita membutuhkan orang yang ketika kita menatapnya, kita merasa seperti di rumah.

Everytime I look at you, I’m home :)

Dan itu bukan karena perbuatan saya, kondisi, ataupun takdir, melainkan ketiganya.